Apabila Iman Sudah Benar #6

Keempat: Jujur dalam Persaudaraan (#2)

Oleh: Abdullah bin Fahd As-Salum 


Imam Al-Qurthubi dan para ulama lainnya telah menukil adanya kesepakatan (ijma’): “Bahwa apabila kaum Muslimin memiliki suatu kebutuhan (mendesak) setelah zakat ditunaikan, maka wajib hukumnya mengeluarkan harta untuk (memenuhi) kebutuhan tersebut.” Dalam kitab Al-Iqna' dan lainnya (juga disebutkan), “Memberi makan orang yang kelaparan dan semisalnya adalah kewajiban yang disepakati bersama (ijma’).”[1]


Lantas, di manakah (peran) dana kita yang tersimpan di bank-bank? Sungguh, betapa besarnya kelalaian kita terhadap kewajiban-kewajiban syariat kita. Padahal, Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Pemberi Rezeki, Yang di tangan-Nya-lah perbendaharaan (kekayaan) langit dan bumi.


Maka, bukanlah sifat kikir dan tamak terhadap harta yang akan mengumpulkan dan menjaganya dari kebinasaan. Akan tetapi, sesuatu yang memberkahi harta, menyucikannya, mengembangkannya, dan membersihkannya adalah dengan membelanjakannya semata-mata karena Allah (li wajhillah) dan memberikannya untuk hal-hal yang diridai-Nya. (Semua itu hendaknya) disertai dengan kejujuran, keikhlasan, serta menjauhkan diri dari sifat riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar/dipuji orang lain), dan keinginan agar perbuatannya diketahui orang lain.


Rasulullah bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawaduk) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)


Allah berfirman:

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

“Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)


مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗ

“Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat.” (QS. Al-Baqarah: 245)


Dan beliau bersabda:

مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ فَإِنَّ اللهَ يَقْبَلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّيْ أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ

 

Barangsiapa yang bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Dan beliau bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jauhilah neraka walaupun dengan bersedekah sebelah butir kurma, maka siapa saja yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah (bersedekah) dengan kata-kata yang baik.” (HR Bukhari dan Muslim).


Maka, di manakah keimanan kita untuk merenungkan dalil-dalil agung seperti ini?! (Ya Allah, ampunilah kami).


Wahai engkau yang mencintai... sesungguhnya pembicaraan tentang persaudaraan (ukhuwah) itu sangat luas dan bercabang. Maksudnya bukan sekadar engkau memiliki harta lalu bersedekah, atau engkau disakiti lalu memaafkan, atau engkau punya hak lalu kau lepaskan, atau engkau menahan lisanmu dari mencela saudaramu.


Semua ini dan yang lainnya memang dituntut dalam syariat, akan tetapi makna persaudaraan (ukhuwah) jauh lebih luas, lebih umum, lebih besar, dan lebih agung dari itu semua.


Sesungguhnya ukhuwah adalah sebuah ibadah di antara ibadah-ibadah yang paling mulia. Engkau merasakannya dalam setiap perbuatan yang kau berikan untuk saudaramu, setiap ucapan yang kau katakan kepadanya, dan setiap niat yang kau simpan di dalam hatimu berupa rasa cinta dan kasih sayang. Dalam semua itu, engkau merasakan bahwa engkau sedang mendekatkan diri kepada Allah dengannya; baik engkau mengenal saudara itu ataupun tidak, baik ia berbuat baik kepadamu ataupun berbuat buruk, dan baik ia berasal dari dalam negerimu ataupun dari luar negeri.


Dan ketika engkau memberinya bantuan atau kebaikan, engkau tidak menunggu ucapan terima kasih darinya, dan dirimu pun tidak mengharapkan balasan kebaikan serupa darinya. Akan tetapi, engkau hanya mengharapkan balasan dari Pemilik balasan yang teragung (yaitu Allah).


Cukupkanlah dirimu dengan itu (harapan pada Allah) sehingga tidak lagi memandang (dan berharap) kepada makhluk. Bebaskanlah dirimu dari bisikan dan dorongan hawa nafsu yang mengajak kepada keegoisan (egoisme), keinginan membalas dendam, dan sikap ingin menguasai nikmat untuk diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.


Sungguh, alangkah indahnya sifat pemaaf dan perbuatan baik itu! Dan alangkah mulianya orang yang memilikinya! Alangkah terhormat dan manisnya jiwa seseorang ketika ia mampu mengangkat dirinya di atas ambisi-ambisi dan puing-puing dunia yang hina. Dan ketika ia terbang tinggi dengan hatinya yang lapang, melampaui kesalahan-kesalahan kecil, kekeliruan, dan ketergelinciran (orang lain).


Maka, ia mengatasi semua itu dengan akhlaknya yang mulia, kejernihan nuraninya yang hidup, dan manisnya iman yang ia rasakan.


Rasulullah   bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

“Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawaduk) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).


Wahai orang mukmin yang waspada, tidakkah engkau ingin agar Allah mencintaimu, memaafkanmu, dan memasukkanmu ke dalam rahmat-Nya? Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang gemar berinfak, orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, orang-orang yang berbuat baik (muhsinin), dan orang-orang yang sabar.


Maka, jika Allah telah mencintaimu, menerima (amalan)-mu, dan memberimu (karunia), lantas siapa lagi yang akan engkau harapkan setelah-Nya dan kepada siapa lagi engkau akan bergantung? Dan apa lagi yang engkau inginkan lebih dari Surga?


لَهُمْ مَّا يَشَاۤءُوْنَ فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ

“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada Kami masih ada lagi tambahan (nikmat).” (QS. Qaaf: 35)


اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)


Imam Al-Qurthubi berkata: “Maka terhadap dirimu (nafsumu): Tuntutlah hak darinya, jangan menuntut hak untuknya. Mintalah keadilan darinya, jangan membela untuknya. Dan jadilah lawannya, bukan temannya.”


Adapun (sifat-sifat seperti) melampiaskan dendam, balas dendam, kikir untuk berbuat baik dan murah hati kepada saudaramu, bersikap kasar, menuntut balas setimpal, berburuk sangka, membicarakan orang lain, marah-marah dan reaktif, panjang lidah (suka mencela), ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), hasad (dengki), dan banyak bicara. Maka semua ini adalah hal yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Ini adalah perkara yang mudah bagi hawa nafsu, bahkan nafsu sangat merindukan dan merasa senang melakukannya.


Di sinilah datang peran seorang pemilik iman yang sejati, yaitu orang yang mampu memegang kendali dan menguasai hawa nafsunya. Ia akan memaksa dan menekan nafsunya (agar tunduk) agar ia bisa menjadi pribadi yang dermawan, pemaaf, ridha (penuh kerelaan), mulia, bersikap ksatria, terhormat, dan sabar.


Yaitu pribadi yang telah menyucikan hatinya dari segala kotoran (penyakit hati) dan prasangka buruk, dan menyucikan lisannya dari qil wa qal (ucapan sia-sia atau gosip). Dan dengarkanlah firman Tuhanmu di mana Dia berfirman:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia.” (QS. Fusshilat: 34)


۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤

Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”  (QS. Ali-‘Imran: 133-134)


Dan Rasulullah   bersabda:

الْإِيْمَانُ الصَّبْرُ وَالسَّمَاحَةُ

“Iman itu adalah kesabaran dan samahah (kelapangan hati/kemurahan jiwa).” (Kitab Shahih al-Jami', Jilid 2, halaman 415, hadis nomor 5544.)



[1] “Hasyiyah Ar-Rawdh Al-Murbi” karya Syaikh Ibnu Qasim, Jilid 3, halaman 344.


Lebih lamaTerbaru