Keempat: Jujur dalam Persaudaraan (#2)
Oleh: Abdullah bin Fahd As-Salum
Imam Al-Qurthubi dan para ulama
lainnya telah menukil adanya kesepakatan (ijma’): “Bahwa apabila kaum Muslimin
memiliki suatu kebutuhan (mendesak) setelah zakat ditunaikan, maka wajib
hukumnya mengeluarkan harta untuk (memenuhi) kebutuhan tersebut.” Dalam kitab Al-Iqna'
dan lainnya (juga disebutkan), “Memberi makan orang yang kelaparan dan
semisalnya adalah kewajiban yang disepakati bersama (ijma’).”[1]
Lantas, di manakah (peran) dana
kita yang tersimpan di bank-bank? Sungguh, betapa besarnya kelalaian kita
terhadap kewajiban-kewajiban syariat kita. Padahal, Allah-lah Yang Maha Kaya
lagi Maha Pemberi Rezeki, Yang di tangan-Nya-lah perbendaharaan (kekayaan)
langit dan bumi.
Maka, bukanlah sifat kikir dan
tamak terhadap harta yang akan mengumpulkan dan menjaganya dari kebinasaan.
Akan tetapi, sesuatu yang memberkahi harta, menyucikannya, mengembangkannya,
dan membersihkannya adalah dengan membelanjakannya semata-mata karena Allah (li
wajhillah) dan memberikannya untuk hal-hal yang diridai-Nya. (Semua itu
hendaknya) disertai dengan kejujuran, keikhlasan, serta menjauhkan diri dari
sifat riya’ (pamer), sum’ah (ingin didengar/dipuji orang lain),
dan keinginan agar perbuatannya diketahui orang lain.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ
عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ
“Sedekah tidaklah
mengurangi harta. Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba yang pemaaf
melainkan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawaduk)
karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Allah berfirman:
وَمَآ اَنْفَقْتُمْ
مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
“Suatu apa pun yang
kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
مَنْ ذَا الَّذِيْ
يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗ
“Siapakah yang mau memberi
pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas
pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Dan beliau ﷺ bersabda:
مَنْ
تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ
الطَّيِّبَ فَإِنَّ اللهَ يَقْبَلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا
لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّيْ أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ
الْجَبَلِ
“Barangsiapa yang bersedekah
dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal,
sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah
akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk
pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga
sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan beliau ﷺ bersabda:
اتَّقُوا
النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jauhilah neraka
walaupun dengan bersedekah sebelah butir kurma, maka siapa saja yang tidak
mendapatkannya, maka hendaklah (bersedekah) dengan kata-kata yang baik.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Maka, di manakah keimanan kita
untuk merenungkan dalil-dalil agung seperti ini?! (Ya Allah, ampunilah kami).
Wahai
engkau yang mencintai... sesungguhnya pembicaraan tentang persaudaraan
(ukhuwah) itu sangat luas dan bercabang. Maksudnya bukan sekadar engkau
memiliki harta lalu bersedekah, atau engkau disakiti lalu memaafkan, atau
engkau punya hak lalu kau lepaskan, atau engkau menahan lisanmu dari mencela
saudaramu.
Semua ini
dan yang lainnya memang dituntut dalam syariat, akan tetapi makna persaudaraan
(ukhuwah) jauh lebih luas, lebih umum, lebih besar, dan lebih agung dari itu
semua.
Sesungguhnya
ukhuwah adalah sebuah ibadah di antara ibadah-ibadah yang paling mulia. Engkau
merasakannya dalam setiap perbuatan yang kau berikan untuk saudaramu, setiap
ucapan yang kau katakan kepadanya, dan setiap niat yang kau simpan di dalam
hatimu berupa rasa cinta dan kasih sayang. Dalam semua itu, engkau merasakan
bahwa engkau sedang mendekatkan diri kepada Allah dengannya; baik engkau
mengenal saudara itu ataupun tidak, baik ia berbuat baik kepadamu ataupun
berbuat buruk, dan baik ia berasal dari dalam negerimu ataupun dari luar
negeri.
Dan ketika
engkau memberinya bantuan atau kebaikan, engkau tidak menunggu ucapan terima
kasih darinya, dan dirimu pun tidak mengharapkan balasan kebaikan serupa
darinya. Akan tetapi, engkau hanya mengharapkan balasan dari Pemilik balasan
yang teragung (yaitu Allah).
Cukupkanlah
dirimu dengan itu (harapan pada Allah) sehingga tidak lagi memandang (dan
berharap) kepada makhluk. Bebaskanlah dirimu dari bisikan dan dorongan hawa
nafsu yang mengajak kepada keegoisan (egoisme), keinginan membalas dendam, dan
sikap ingin menguasai nikmat untuk diri sendiri tanpa memedulikan orang lain.
Sungguh,
alangkah indahnya sifat pemaaf dan perbuatan baik itu! Dan alangkah mulianya
orang yang memilikinya! Alangkah terhormat dan manisnya jiwa seseorang ketika
ia mampu mengangkat dirinya di atas ambisi-ambisi dan puing-puing dunia yang
hina. Dan ketika ia terbang tinggi dengan hatinya yang lapang, melampaui
kesalahan-kesalahan kecil, kekeliruan, dan ketergelinciran (orang lain).
Maka, ia
mengatasi semua itu dengan akhlaknya yang mulia, kejernihan nuraninya yang
hidup, dan manisnya iman yang ia rasakan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Dan tidaklah
seseorang bersikap rendah hati (tawaduk) karena Allah, melainkan Allah akan
mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Wahai
orang mukmin yang waspada, tidakkah engkau ingin agar Allah mencintaimu,
memaafkanmu, dan memasukkanmu ke dalam rahmat-Nya? Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang gemar berinfak, orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia,
orang-orang yang berbuat baik (muhsinin), dan orang-orang yang sabar.
Maka, jika
Allah telah mencintaimu, menerima (amalan)-mu, dan memberimu (karunia), lantas
siapa lagi yang akan engkau harapkan setelah-Nya dan kepada siapa lagi engkau
akan bergantung? Dan apa lagi yang engkau inginkan lebih dari Surga?
لَهُمْ مَّا يَشَاۤءُوْنَ
فِيْهَا وَلَدَيْنَا مَزِيْدٌ
“Mereka di dalamnya
memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada Kami masih ada lagi tambahan
(nikmat).” (QS.
Qaaf: 35)
اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ
قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Sesungguhnya rahmat
Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Imam
Al-Qurthubi berkata: “Maka terhadap dirimu (nafsumu): Tuntutlah hak darinya,
jangan menuntut hak untuknya. Mintalah keadilan darinya, jangan membela
untuknya. Dan jadilah lawannya, bukan temannya.”
Adapun
(sifat-sifat seperti) melampiaskan dendam, balas dendam, kikir untuk berbuat
baik dan murah hati kepada saudaramu, bersikap kasar, menuntut balas setimpal,
berburuk sangka, membicarakan orang lain, marah-marah dan reaktif, panjang
lidah (suka mencela), ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), hasad
(dengki), dan banyak bicara. Maka semua ini adalah hal yang bisa dilakukan oleh
setiap orang. Ini adalah perkara yang mudah bagi hawa nafsu, bahkan nafsu
sangat merindukan dan merasa senang melakukannya.
Di sinilah
datang peran seorang pemilik iman yang sejati, yaitu orang yang mampu memegang
kendali dan menguasai hawa nafsunya. Ia akan memaksa dan menekan nafsunya (agar
tunduk) agar ia bisa menjadi pribadi yang dermawan, pemaaf, ridha (penuh
kerelaan), mulia, bersikap ksatria, terhormat, dan sabar.
Yaitu
pribadi yang telah menyucikan hatinya dari segala kotoran (penyakit hati) dan
prasangka buruk, dan menyucikan lisannya dari qil wa qal (ucapan sia-sia
atau gosip). Dan dengarkanlah firman Tuhanmu di mana Dia berfirman:
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ
اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
“Tidaklah
sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih
baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti
teman yang sangat setia.” (QS. Fusshilat: 34)
۞
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ
وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى
السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ
النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤
“Bersegeralah
menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi
yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu
berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan
kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah
mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-‘Imran: 133-134)
Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
الْإِيْمَانُ الصَّبْرُ وَالسَّمَاحَةُ
“Iman itu adalah
kesabaran dan samahah (kelapangan hati/kemurahan jiwa).” (Kitab Shahih
al-Jami', Jilid 2, halaman 415, hadis nomor 5544.)