Ketiga: Memperhatikan Amalan Hati
Oleh: Abdullah bin Fahd As-Salum
Apa bila iman sudah benar, maka
perhatian seorang hamba terhadap amalan hatinya menjadi lebih besar daripada
perhatiannya terhadap amalan anggota tubuhnya, karena porosnya terletak pada
apa yang ada di dalam hati, dan anggota tubuh hanyalah pengikutnya. Hati adalah
raja dan anggota tubuh adalah tentaranya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا
إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya, di dalam badan ini terdapat sekerat
daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh ba dan, dan jika ia rusak, maka
rusaklah seluruh badan. Sesungguhnya, ia adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dampak ibadah terhadap perilaku tidak akan melemah
kecuali karena kelalaian terhadap amalan hati. Ketika kekhusyukan dalam salat
dan perenungan di dalamnya hilang, banyak dari orang yang salat tidak lagi
dicegah oleh salat mereka dari perbuatan keji dan munkar. Puasa, zakat, dan
semua ibadah mereka menjadi umum (sekadar rutinitas) dan takwa tidak terwujud
di dalamnya, sehingga tidak memengaruhi perilaku mereka. Ketakutan kepada Allah
dan harapan kepada-Nya dalam hati mereka melemah. Maka, yang mendominasi adalah
ibadah-ibadah yang bersifat formalitas tanpa substansi, dan kebiasaan tanpa
esensi ibadah yang sebenarnya.
Dan sebagian besar ibadah menjadi sekadar gambaran (simbol) bukan lagi bukti dan kenyataan. Engkau akan melihat orang yang bersujud dan berpuasa dengan santai bertransaksi dengan riba yang terang-terangan. Engkau akan melihat orang yang membaca Kitab suci Al-Qur'an menghabiskan malamnya dengan berbagai bentuk hiburan dan kemungkaran. Engkau akan melihat orang yang berzikir kepada Allah, yang bertalbiyah, yang tawaf, dan yang sa'i, telah tercemar oleh berbagai macam kejahatan dan dosa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan engkau akan melihat perhatian seorang haji dan umrah terhadap persiapan perbekalan umrah dan haji, mulai dari penginapan, makanan, dan kenyamanan, jauh lebih besar daripada perhatiannya untuk menjaga kekhusyukan dalam salatnya dan duduk di tanah haram untuk beribadah dan berzikir.
Secara keseluruhan, amalan
hati seperti kekhusyukan, kerendahan hati (ketundukan), kembali kepada Allah
(inabah), rasa takut, harapan, memohon pertolongan (istighatsah), cinta,
tawakal, menyaksikan ihsan dari Allah, kesempurnaan muraqabah (merasa diawasi),
kejujuran, keikhlasan, serta menjaga hati dan menyiramnya dengan air takwa, dan
berhati-hati terhadap kerusakan, riya', sum'ah (mencari popularitas), ujub
(kagum pada diri sendiri), dan membanggakan diri. Amalan-amalan ini dan yang
semisalnya sangat memerlukan perhatian dan penanganan serius dari seorang hamba
apabila iamannya sudah benar. Dan balasan dari Allah atas amal perbuatan adalah
sesuai dengan apa yang ada di dalam hati berupa kejujuran, kerinduan kepada
Allah, serta menampakkan kerendahan diri, kefakiran, dan kebutuhan.
Allah Ta'ala berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ
مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ ٨٨ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ ٨٩
“(Yaitu) pada hari ketika tidak berguna
(lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih.” (Asy-Syu'ara:
88-89).
Sungguh, dua orang bisa shalat di
satu tempat, tetapi engkau akan menemukan perbedaan di antara keduanya sejauh
antara langit dan bumi.
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya amalan-amalan itu berbeda-beda keutamaannya seiring dengan perbedaan apa yang ada di dalam hati”. Dan jika amalan hati tidak menyertai amalan anggota tubuh, maka ibadah tidak akan menghasilkan kenikmatan, kemanisan, kelapangan dada, maupun peningkatan iman bagi pelakunya. Dengan demikian, ibadah tersebut kehilangan ruhnya. Dan inilah keadaan yang umum terjadi pada kebanyakan umat Muslim.