Apabila Iman Sudah Benar #5

Keempat: Jujur dalam Persaudaraan (#1)

Oleh: Abdullah bin Fahd As-Salum



Apabila iman sudah benar, maka persaudaraan karena Allah akan sejati. Seorang mukmin akan merasakan kedekatan kepada Allah dengan cara memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, melayaninya, membela kehormatannya, menutupi kesalahannya, memberinya makan jika ia lapar, menanyakan keadaannya, mendukungnya, dan mengasihinya. Maka persaudaraan itu bukanlah sekadar slogan yang diucapkan, klaim yang disampaikan, atau idealisme yang kosong, tetapi ia adalah kenyataan yang nyata dan dampak yang mendorong jiwa untuk berkorban, berbakti, bersabar dalam melayani, serta menjaga kehormatan, darah, dan harta sesama muslim.


Dan persaudaraan itu bukan hanya sekadar kebersamaan di saat lapang dan senang, lalu kemudian berubah menjadi permusuhan ketika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Karena pada saat itu, persaudaraan akan dilupakan, hak-haknya dilanggar, kehormatan dirusak, dan ikatan cinta dihancurkan. Namun, jika persaudaraan karena Allah itu jujur dan tulus, ia akan tetap kokoh meskipun saudaramu berbuat buruk kepadamu atau lalai dalam hakmu. Para ulama berkata: “Hakikat persaudaraan adalah tidak menambah kebaikan (saat bersama) dan tidak mengurangi (rasa kasih) saat berpisah (atau bersikap dingin).”


Subhanallah, di manakah ajaran syariat dalam menjaga kehormatan seorang Muslim? Dan kewajiban menasihatinya, menutupi kesalahannya, serta mengharamkan memboikotnya? Dan di manakah posisi kita dari firman Allah Ta'ala:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ


“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

dan sabda Nabi :

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ


“Setiap Muslim atas Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)


Mengapa perselisihan diperluas?! Dan kita justru berusaha dengan adu domba (fitnah/namimah) dan terjerumus dalam dosa-dosa yang membinasakan?! Jawabannya jelas, itu adalah karena ego nafsu, ketaatan pada hawa nafsu dan setan, serta fanatisme buta.


Dan siapa yang diuntungkan dari mencela dan menjatuhkan saudara-saudara Muslimmu, serta berprasangka buruk terhadap mereka, dan merusak hubungan yang menghancurkan agama, memecah belah hati, dan membuat orang-orang meragukan kredibilitas para dai (penyeru kebaikan) dan orang-orang baik?!


Wahai kamu yang seperti itu, apakah kamu ingin orang-orang berpaling dari kebaikan dan berkata: “Jika kalian para dai telah berdamai, maka datanglah kepada kami?” Dan apakah kamu ingin semangat orang-orang untuk kebaikan dan antusiasme mereka terhadapnya, dialihkan kepada perpecahan, pengelompokan, dan memenuhi hati dengan dendam serta aib?! Sesungguhnya agama Allah datang untuk memperbaiki keadaan kita dan menjadikan kita bersaudara yang saling mencintai, bukan musuh yang saling bertentangan, serta menumbuhkan dalam diri kita persaudaraan, pertolongan, kesabaran, dan memaafkan.


Sesungguhnya di antara hak-hak saudara-saudara Muslim kita, dan khususnya para dai (penyeru kebaikan), adalah kita mendoakan mereka dan menyatukan tangan kita dengan mereka. Jika ada sesuatu yang kita anggap salah dari mereka, maka hendaknya kita segera menasihati mereka karena kecemburuan (ghirah) demi Allah, bukan demi kepentingan diri kita sendiri. Barang siapa yang menerima (nasihat), maka segala puji bagi Allah. Dan barang siapa yang tidak menerima, maka tidak boleh kita menjadi penolong setan atas dirinya, tidak boleh kita menghalalkan kehormatannya (mencelanya), dan tidak boleh kita bergembira atas kesalahannya, terutama jika perbedaan kita dengan mereka adalah dalam masalah-masalah ijtihad (yang masih memungkinkan adanya perbedaan pendapat).


Dan bahkan bagi orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam hal yang ada nashnya (dalilnya), kita tetap mendengarkan apa yang ada padanya dan menjelaskan kebenaran kepadanya. Jika ia kembali (kepada kebenaran), maka itu baik, dan jika tidak, maka kita tidak menyetujuinya dalam satu masalah itu saja, dan kita tidak menolak kebaikan yang ada padanya yang ia dapatkan dari kebenaran. Dan betapa banyak dalam sejarah kaum Muslimin perselisihan antara ulama mereka dalam fikih dan ahli hadis serta banyak masalah lainnya. Maka selama saudaramu sesama Muslim adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang kamu tidak tahu ia melakukan bid’ah, maka ia berada di atas kebenaran dan kebaikan, meskipun kamu berbeda pendapat dengannya, dan ia juga berbeda pendapat denganmu dalam masalah-masalah ijtihad, dan setiap pendapat memiliki ruang lingkupnya. Dan apakah itu suatu keburukan bagi orang-orang saleh untuk dicela dan disakiti oleh orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka?[1]


Sesungguhnya persaudaraan yang sejati adalah engkau mencintai untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri, berdasarkan sabda Nabi :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ


“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari)


Dan di antara tanda-tanda paling jelas kelalaian kita terhadap hak-hak saudara-saudara Muslim kita adalah melupakan penderitaan mereka dan apa yang mereka alami berupa kelaparan, penderitaan, penyakit, kebodohan, bid’ah, syirik, ketakutan, pengusiran, penindasan, dan kekurangan. Sementara itu, mereka merasakan bahwa kita sibuk menyempurnakan kebutuhan dan perhiasan kita berupa kendaraan, tempat tinggal, dan makanan, serta mencari kemewahan, di mana sebagian dari kita menderita obesitas dan bagaimana mengatur makanan serta menjaga berat badan.


Maka, di manakah perasaan sebagai satu tubuh? Dan di manakah terwujudnya persaudaraan yang sejati? Dan apakah kita mengira bahwa kita akan selamat dari pertanyaan Tuhan kita tentang mereka, sementara mereka berada dalam kobaran api kekurangan, fitnah merajalela di antara mereka, musuh-musuh mencabik-cabik mereka, dan dunia berkonspirasi melawan mereka? Dan di manakah doa untuk mereka? Dan di manakah pengkhususan sebagian kecil harta yang Allah titipkan kepada kita untuk memenuhi kebutuhan mereka? Harta kita bukanlah milik kita, melainkan milik Allah yang telah menjadikannya amanah di sisi kita. Maka, apakah kita meletakkan amanah itu di tempat yang Allah inginkan, ataukah kita membelanjakannya sesuai keinginan nafsu dan apa yang membuat kita dipuji dan dikagumi di mata manusia melalui mobil mewah kita yang baru dan dalam acara-acara kebanggaan kita? Di manakah kejujuran dalam berinfak? Dan apakah kita mengira bahwa kita aman dari apa yang menimpa saudara-saudara kita yang kelaparan, terusir, ketakutan, tertindas, tersesat, dan teraniaya?




[1] Lihatlah untuk rujukan lebih lanjut kitab “Raf'ul Malam 'anil A'immatil A'lam” karya Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah.