Keempat: Jujur dalam Persaudaraan (#1)
Oleh: Abdullah bin Fahd As-Salum
Apabila iman sudah benar, maka
persaudaraan karena Allah akan sejati. Seorang mukmin akan merasakan kedekatan
kepada Allah dengan cara memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim,
melayaninya, membela kehormatannya, menutupi kesalahannya, memberinya makan
jika ia lapar, menanyakan keadaannya, mendukungnya, dan mengasihinya. Maka
persaudaraan itu bukanlah sekadar slogan yang diucapkan, klaim yang
disampaikan, atau idealisme yang kosong, tetapi ia adalah kenyataan yang nyata
dan dampak yang mendorong jiwa untuk berkorban, berbakti, bersabar dalam
melayani, serta menjaga kehormatan, darah, dan harta sesama muslim.
Dan persaudaraan itu bukan hanya
sekadar kebersamaan di saat lapang dan senang, lalu kemudian berubah menjadi
permusuhan ketika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat. Karena pada saat
itu, persaudaraan akan dilupakan, hak-haknya dilanggar, kehormatan dirusak, dan
ikatan cinta dihancurkan. Namun, jika persaudaraan karena Allah itu jujur dan
tulus, ia akan tetap kokoh meskipun saudaramu berbuat buruk kepadamu atau lalai
dalam hakmu. Para ulama berkata: “Hakikat persaudaraan adalah tidak menambah
kebaikan (saat bersama) dan tidak mengurangi (rasa kasih) saat berpisah (atau
bersikap dingin).”
Subhanallah, di manakah ajaran syariat dalam menjaga kehormatan seorang Muslim? Dan kewajiban menasihatinya, menutupi kesalahannya, serta mengharamkan memboikotnya? Dan di manakah posisi kita dari firman Allah Ta'ala:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
ࣖ
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
dan sabda Nabi ﷺ:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ
دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap Muslim atas
Muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Mengapa
perselisihan diperluas?! Dan kita justru berusaha dengan adu domba
(fitnah/namimah) dan terjerumus dalam dosa-dosa yang membinasakan?! Jawabannya
jelas, itu adalah karena ego nafsu, ketaatan pada hawa nafsu dan setan, serta
fanatisme buta.
Dan siapa yang diuntungkan dari
mencela dan menjatuhkan saudara-saudara Muslimmu, serta berprasangka buruk
terhadap mereka, dan merusak hubungan yang menghancurkan agama, memecah belah
hati, dan membuat orang-orang meragukan kredibilitas para dai (penyeru
kebaikan) dan orang-orang baik?!
Wahai kamu yang seperti itu,
apakah kamu ingin orang-orang berpaling dari kebaikan dan berkata: “Jika
kalian para dai telah berdamai, maka datanglah kepada kami?” Dan apakah
kamu ingin semangat orang-orang untuk kebaikan dan antusiasme mereka
terhadapnya, dialihkan kepada perpecahan, pengelompokan, dan memenuhi hati
dengan dendam serta aib?! Sesungguhnya agama Allah datang untuk memperbaiki
keadaan kita dan menjadikan kita bersaudara yang saling mencintai, bukan musuh
yang saling bertentangan, serta menumbuhkan dalam diri kita persaudaraan, pertolongan,
kesabaran, dan memaafkan.
Sesungguhnya di antara hak-hak
saudara-saudara Muslim kita, dan khususnya para dai (penyeru kebaikan), adalah
kita mendoakan mereka dan menyatukan tangan kita dengan mereka. Jika ada
sesuatu yang kita anggap salah dari mereka, maka hendaknya kita segera menasihati
mereka karena kecemburuan (ghirah) demi Allah, bukan demi kepentingan diri kita
sendiri. Barang siapa yang menerima (nasihat), maka segala puji bagi Allah. Dan
barang siapa yang tidak menerima, maka tidak boleh kita menjadi penolong setan
atas dirinya, tidak boleh kita menghalalkan kehormatannya (mencelanya), dan
tidak boleh kita bergembira atas kesalahannya, terutama jika perbedaan kita
dengan mereka adalah dalam masalah-masalah ijtihad (yang masih memungkinkan
adanya perbedaan pendapat).
Dan bahkan bagi orang yang berbeda
pendapat dengan kita dalam hal yang ada nashnya (dalilnya), kita tetap
mendengarkan apa yang ada padanya dan menjelaskan kebenaran kepadanya. Jika ia
kembali (kepada kebenaran), maka itu baik, dan jika tidak, maka kita tidak
menyetujuinya dalam satu masalah itu saja, dan kita tidak menolak kebaikan yang
ada padanya yang ia dapatkan dari kebenaran. Dan betapa banyak dalam sejarah
kaum Muslimin perselisihan antara ulama mereka dalam fikih dan ahli hadis serta
banyak masalah lainnya. Maka selama saudaramu sesama Muslim adalah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yang kamu tidak tahu ia melakukan bid’ah, maka ia berada di atas
kebenaran dan kebaikan, meskipun kamu berbeda pendapat dengannya, dan ia juga
berbeda pendapat denganmu dalam masalah-masalah ijtihad, dan setiap pendapat
memiliki ruang lingkupnya. Dan apakah itu suatu keburukan bagi orang-orang
saleh untuk dicela dan disakiti oleh orang-orang yang berbeda pendapat dengan
mereka?[1]
Sesungguhnya persaudaraan yang
sejati adalah engkau mencintai untuk saudaramu apa yang engkau cintai untuk
dirimu sendiri, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna
iman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa
yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari)
Dan di
antara tanda-tanda paling jelas kelalaian kita terhadap hak-hak saudara-saudara
Muslim kita adalah melupakan penderitaan mereka dan apa yang mereka alami
berupa kelaparan, penderitaan, penyakit, kebodohan, bid’ah, syirik, ketakutan,
pengusiran, penindasan, dan kekurangan. Sementara itu, mereka merasakan bahwa
kita sibuk menyempurnakan kebutuhan dan perhiasan kita berupa kendaraan, tempat
tinggal, dan makanan, serta mencari kemewahan, di mana sebagian dari kita
menderita obesitas dan bagaimana mengatur makanan serta menjaga berat badan.
Maka, di manakah perasaan sebagai
satu tubuh? Dan di manakah terwujudnya persaudaraan yang sejati? Dan apakah
kita mengira bahwa kita akan selamat dari pertanyaan Tuhan kita tentang mereka,
sementara mereka berada dalam kobaran api kekurangan, fitnah merajalela di
antara mereka, musuh-musuh mencabik-cabik mereka, dan dunia berkonspirasi
melawan mereka? Dan di manakah doa untuk mereka? Dan di manakah pengkhususan
sebagian kecil harta yang Allah titipkan kepada kita untuk memenuhi kebutuhan
mereka? Harta kita bukanlah milik kita, melainkan milik Allah yang telah
menjadikannya amanah di sisi kita. Maka, apakah kita meletakkan amanah itu di
tempat yang Allah inginkan, ataukah kita membelanjakannya sesuai keinginan
nafsu dan apa yang membuat kita dipuji dan dikagumi di mata manusia melalui
mobil mewah kita yang baru dan dalam acara-acara kebanggaan kita? Di manakah
kejujuran dalam berinfak? Dan apakah kita mengira bahwa kita aman dari apa yang
menimpa saudara-saudara kita yang kelaparan, terusir, ketakutan, tertindas,
tersesat, dan teraniaya?
[1] Lihatlah untuk rujukan lebih
lanjut kitab “Raf'ul Malam 'anil A'immatil A'lam” karya Syekhul Islam
Ibnu Taimiyyah.